Monday, December 22, 2008

Pawukon Tidak Di Ketahui Penciptanya

Tak diketahui penciptanya

Seperti hanya Cap Ji Shio maupun zodiak Barat, Pawukon pun sampai kini belum diketahui persis asal usul berikut penciptanya.

Kenyataan ini diperparah oleh kondisi sumber-sumber tulisan yang menunjang informasi ini sudah amat memprihatinkan. Seperti buku tentang Pawukon terbitan tahun 1850 yang kini tersimpan di Istana Mangkunegaran, sudah amat rapuh. Buku serupa di Sasono Pustoko, Keraton Kasunanan Surakarta, yang dibuat pada masa Paku Buwono X (1893-1939) kondisinya sedikit lebih baik.

“Dari sekian banyak literatur yang saya baca, tak satu pun menjelaskan secara pasti siapa pembuat Pawukon...," aku Bambang Saptono. Namun ia memperkirakan Pawukon ini dibuat sekitar abad VII, pada masa Hindu.

Mitos menceritakan bahwa lahirnya Pawukon diilhami kisah Raja Watugunung, cerita rakyat zaman dulu, yang mengisahkan cinta anak lelaki terhadap ibunya sendiri seperti Oedipus dari Yunani. Nama anak-anak yang lahir dari hubungan terlarang inilah yang menandai nama wuku. Ada pun urutan wuku itu disesuaikan dengan janji Dewa kepada Watugunung untuk mengangkat semua anggota keluarganya ke kayangan. Untuk mendapat jaminan agar semua diangkat ke kayangan, Watugunung memilih menunggui anggota keluarganya dulu satu persatu diangkat ke kayangan, sementara dirinya sendiri memilih yang paling akhir. Itulah sebabnya Wuku Watugunung berada di urutan terakhir.

Lebih lanjut Bambang memberi latar belakang, minimnya sumber tulisan tentang Pawukon ini memang dimungkinkan karena dalam budaya Jawa kuno tradisi tulis kurang dikenal, sehingga menyulitkan pelacakannya.

Sementara itu Darmodipuro memperkirakan penggunaan Pawukon dalam praktik bernegara dan kehidupan sehari-hari sudah dimulai pada zaman Sultan Agung (1613-1645). Gelapnya informasi tentang pencipta Pawukon ini sangat mungkin lantaran sifat para pujangga Jawa zaman dulu yang memegang prinsip rendah hati.

“Sifat orang Jawa ‘kan tidak mau menonjolkan diri pribadi. Itulah sebabnya banyak karya sastra Jawa yang tidak ketahuan siapa pembuatnya. Sebagai contohnya, karya-karya KRT Ronggowarsito tidak ada yang jelas-jelas menuliskan namanya. Kalaupun ada biasanya dibuat sandiasmo (nama rahasia). Itu pun diselipkan secara tersamar ke dalam karya tulisnya sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa membacanya. Saya rasa itu juga yang terjadi dengan karya Pawukon ini,” jelasnya.

Telaah yang agak berbeda diberikan oleh Drs. Manu Djojoatmodjo, pakar Jawa kuno yang juga dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Selain sulit dilacak, versi Pawukon juga beragam sesuai dengan perbedaan tradisi di mana keyakinan Pawukon itu dianut oleh masyarakat. Meski pola bakunya sama, bisa jadi Pawukon yang ada di Keraton Surakarta berbeda dengan yang terdapat di Pakualaman, Yogyakarta.

"Kita sulit melacak penciptanya karena Pawukon itu merupakan wujud kristalisasi persepsi budaya masyarakat Jawa tentang waktu yang meliputi hari, weton, watak maunusia, serta pranata mangsa yang selama ratusan tahun menjadi pedoman hidup kesehariannya." Apalagi, masih menurut Manu, dalam perjalanan waktu terjadi inkulturasi budaya Hindu, yang pada akhirnya juga mempengaruhi persepsi dan praktik budaya Jawa, termasuk dalam hal Pawukon. Itulah sebabnya dalam setiap wuku selalu ada dewa pelindungnya.

Betapapun Pawukon adalah salah satu kekayaan budaya Indonesia. Membiarkannya punah sama halnya dengan melupakan sejarah bangsa sendiri. Oleh karena itu menjadi tugas kita semua untuk melestarikannya.

No comments:

Post a Comment

Labels