Monday, December 22, 2008

Pawukon Nyaris Hilang Padahal Universal

Nyaris hilang, padahal universal

Diakui atau tidak, pengetahuan tentang Pawukon serta primbon Jawa ini sebetulnya nyaris terkubur oleh derasnya arus modernisasi di kalangan masyarakat Jawa. Apalagi nilai modernitas yang telanjur diserap kalangan muda sering membuat mereka semakin tercerabut dari akar tradisi leluhur. Hanya lantaran gengsi, semua hal yang berbau tradisional di-emohi karena dianggap ndeso dan klenik. Padahal ketika dihadapkan pada suatu kenyataan hidup yang tidak menenteramkan, diam-diam mereka mencari pegangan psikologis. Bagaimanapun juga orang Jawa yang pada dasarnya berakar pada budaya agraris-mistis, termasuk mereka yang sudah hidup di kota-kota besar, akhirnya berpaling juga mengikuti naluri tradisionalnya.

Terbukti, masih banyak orang yang meyakini primbon dan tetap mempertimbangkan petungan Jawa kalau ingin menentukan tanggal perkawinan, pindah rumah, memulai kegiatan bisnis, atau menjalani ritus, sejak kehamilan sampai kelahiran seorang bayi, atau bahkan dalam memilih nama.

Untunglah masih ada figur seperti KRHT Darmodipuro, lelaki kelahiran Solo, 15 September 1937, seorang dari sangat sedikit pakar Kejawen yang tak lekang dimakan derasnya arus zaman. Kesetiaannya dalam menggeluti produk budaya Kejawen menggugah kesadaran masyarakat Jawa akan keunggulan dan nilai luhur Pawukon. Di samping tugasnya sebagai kepala museum Radyapustaka memungkinkannya mengeksplorasi secara otodidak berbagai sumber kuno tentang kebudayaan Jawa di museum tersebut, kepakarannya mengenai pawukon dan primbon didapatnya dari guru-gurunya para budayawan Jawa yang sudah mendiang seperti R. Tanoyo, KRT Ronggowarsito, dan RNg. Sastrosayono.

Dalam kesehariannya kini, Darmodipuro tidak pernah sepi tamu. Hampir setiap hari, ia kedatangan orang yang ingin menanyakan wuku, atau perhitungan hari baik untuk beragam keperluan. Tingkat sosial mereka mulai dari rakyat jelata, menengah, sampai para petinggi dari Jakarta, baik sipil maupun jenderal militer.

“Menurut saya, Pawukon ini sifatnya lebih universal. Buktinya, yang datang untuk konsultasi soal ini kepada saya banyak pula orang Tionghoa, bahkan bangsa Belanda, Jerman, Amerika, Australia, Inggris, dan lain sebagainya,” ujarnya sambil memperlihatkan satu bundel uraian wuku pesanan seorang petinggi militer dari Jakarta.

Salah seorang kliennya asal Jerman, H. Henning, yang kemudian diketahui punya Wuku Julungwangi mengaku sangat terkesan karena membuktikan sendiri kebenaran uraian yang terdapat dalam wuku-nya, bahwa naas hidupnya dimangsa binatang buas.

“Ia mengaku selama hidupnya memang pernah tiga kali nyaris tewas diterkam hewan buas, yakni sewaktu berada di Mesir, Jawa Barat, dan di negerinya sendiri,” ujar Darmodipuro menirukan klienya.

Nasib Pawukon yang nyaris terpinggirkan ini juga menarik perhatian Drs. Bambang Saptono (31), seniman lukis alumnus Univeristas Negeri Sebelas Maret, Surakarta, yang merasa terpanggil untuk melestarikan pawukon. “Saya terobsesi untuk memasyarakatkan Pawukon. Kalau horoskop Barat dan shio Cina sampai begitu terkenal ke seluruh dunia, mengapa Pawukon tidak bisa? Padahal produk budaya Jawa ini lebih canggih, spesifik, dan akurat,” aku Bambang yang sejak tahun 1996 lalu mulai mengadakan penelitian, menulis buku, serta mengangkat simbol-simbol Pawukon dengan melukiskannya kembali secara lebih menarik di atas kanvas. Sekarang ini Bambang sudah berhasil “mengkanvaskan” ilustrasi 30 wuku dengan visualisasi yang lebih artistik dan menarik untuk dilihat. Bahkan akhir Oktober 1999 karya lukisan Pawukon ini sudah dipamerkan di Solo selama tiga hari. Dalam upayanya memperkenalkan kepada dunia internasional, menurut rencana Bambang akan menggelar lukisan Pawukon-nya di Prancis tahun ini.

“Saya menyadari mengapa sampai sekarang ini kaum muda dan masyarakat Indonesia lebih tertarik pada horoskop Barat ketimbang Pawukon. Salah satu penyebabnya lantaran jarang dipromosikan dan dimasyarakatkan. Mana ada media massa yang membuat rubrik tentang Pawukon, yang banyak ‘kan rubrik tentang zodiak Barat?”

Padahal menurut Bambang pengetahuan tentang wuku kita masing-masing akan mendatangkan banyak faedah. “Uraian tentang wuku bisa dijadikan sebagai sarana introspeksi diri. Kalau dalam wuku tersebut tertulis sifat-sifat atau kejelekan watak kita, ya, harus diterima sebagai cermin untuk memperbaiki diri," ujar bujangan berkacamata minus ini.

Untuk menentukan wuku, yang diperlukan adalah tanggal kelahiran sesuai tahun Masehi, kemudian dirujuk dalam penanggalan Jawa. Dari penanggalan Jawa itu bisa diketahui termasuk wuku apakah hari kelahiran tersebut. Berangkat dari tanggal tersebut juga bisa dicari hari dan weton-nya untuk menentukan jenis pengapesannya berikut selamatan yang harus dijalani, kalau mau. Untuk mempermudah pencarian wuku tadi bisa dirujuk pada buku Kalender Abadi yang sudah dijual di pasaran. Salah satunya, Kalender 301 Tahun, (Balai Pustaka, 1989), yang disusun oleh Tjokorda Rai Sudharta MA dkk, bisa digunakan dengan sangat mudah.

No comments:

Post a Comment

Labels